Sabtu, 13 Juni 2015

2. Jangan Tiru Ayah

Setiap ada tamu yang datang ke rumah mencari ayah di antara pukul 14.00 - 16.30 selalu membuatku bingung. Bingung karena ayah tidak mau ditemuin tamu pada jam-jam itu. Ayah istirahat ketika sudah pukul 14.00 dan akan bangun pukul 16.00. Tapi tidak langsung siap menerima tamu. Ayah akan santai dulu di singgasananya dengan menikmati segelas teh atau kopi hangat dan jajanan sore buatan ibu. Rutinitas itu ayah jalankan bertahun-tahun lamanya. Dan, tak mau rutinitas ini terganggu oleh tamu-tamunya. Bagi yang sudah akrab mengenal ayah, mereka tahu tidak akan datang ke rumah pada waktu-waktu itu. Mereka akan datang sebelumnya atau sesudahnya.
Sering ini membuat saya keki berhadapan dengan tamu baru. "Bisa bangunkan ayahnya ?" begitu permintaan dari tamu. Dan saya mencoba membangunkan, namun ayah akan menegur saya bahwa ayah baru bisa menemui tamu pukul 16.30. Lalu saya akan menemui tamu itu dan mengatakan apa yang disampaikan ayah. Kadang beberapa tamu mengerti, kadang masih ngeyel  dengan berkata , "Kami dari jauh, dari Jakarta. Mau nanya urusan Al-Muslimun." Kadang saya balik lagi danmembangunkan ayah. Lagi-lagi ayah tidak mau dan berkata "Urusan Al-muslimun pas jam kantor, bukan di luar jam kantor." Ya ya ya, saya sampaikan ke tamu tersebut. Kalau mereka sabar, mereka akan menunggu atau kembali keesokan hari di pagi hari.
Kadang ibu saya berkata, "Haduh malu ibu dengan tamunya, ayah gak mau bangun."
Pernah suatu hari ada tamu datang dari Surabaya berpakain necis datang pukul 14.30. Seperti biasa saya akan mengatakan bahwa ayah tidak bisa diganggu hingga pukul 16.30. Untungnya tamu itu sabar dan mau menunggu. Dan ketika ayah bangun dan telah selesai dengan rutinatas 30 menitnya, ayah akan temui tamu itu. Dan ternyata tamu itu hanya mengantar cetakan kartu nama ayah. "Kiki, kok gak ditanya keperluan tamu itu apa, kan Kiki bisa terima aja kartu nama itu tanpa harus menunggu ayah bangun." begitu kata ayah setelah tamu itu pulang. Saya memang tak bertanya. Kejadian itu ketika saya awal-awal di SMA.
Saya mungkin paling merasakan masalah ini dibandingkan dengan saudara-saudara saya yang lain. Saya merasakan ini sejak kelas 4 SD hingga SMA. Sedangkan kakak-kakak saya, 2 orang SMA di luar kota, 2 orang di pesantren Bangil. Dan pastinya, kalau ada tamu, saya sebagai anak laki-laki yang akan berhadapan bukan kakak-kakak peremupuan atau abang saya (karena abang saya sejak lulus SD di Pesantren)
Dulu saya menganggap ini adalah benar dan boleh dilakukan ketika saya dewasa.  Dan di kepala saya terekam bahwa ini biasa dilakukan oleh laki-laki dewasa. Sama seperti dengan merokok dan tidak mengerjakan pekerjaan rumah seperti memasak, membersihan rumah, membereskan tempat tidur dan membereskan cucian. Karena begitulah ayah sehari-hari.
Tapi sungguh ada kata-kata ayah yang membuat saya kemudian percaya bahwa hal itu salah.
"Kiki, jangan tiru ayah. Harusnya ayah menerima tamu jam berapapun tamu itu datang. " ayah memberikan petuah padaku dan kemudian bercerita bahwa kakek kami berbeda dengan ayah. Kakek kami mau belanja ke pasar, tidak merokok, mau menerima tamu juga mau membantu pekerjaan rumah seperti menyapu dan membersihkan rumah. "Harusnya ayah mau melakukan itu semua, contoh juga Mamu Hud (red :adik lak-laki ayah)" sambung ayah.
Hingga saya lulus kuliah saya tak tahu mengapa ayah enggan menerima tamu dan membantu tugas rumahan, tapi menyuruh anaknya untuk tidak melakukan itu. Mengapa ayah juga berbeda dengan kakek saya dan paman saya.
Setelah saya mengerti pengasuhan, saya baru tahu bahwa ini karena pola asuh ayah ketika kecil. Ayah ketika kecil tidak diasuh oleh kakek tapi oleh adik kakek di Surabaya, yang masih memegang kuat tradisi keturunan India pada umumnya. laki-laki tabu mengerjakan itu semua. Jam tidur siang bagi laki-laki mungkin juga terjdual dengan rapi, tak boleh diganggu oleh siapapun. Ayah mempelajari itu semua, dari kecil hingga lulus SMA. Berbeda dengan pola asuh kakek di Bangil, yang sudah mulai terbuka dengan menabrak beberapa tradisi tak penting itu.
Saya teringat pesan Pak Irwan Renaldi. Bahwa kita perlu memotong rantai pengasuhan yang salah. Dan melalui ayah, saya belajar bahwa salah satu cara memotong rantai  pengasuhan adalah dengan mengakui kesalahan dan bersikap apa adanya. Ayah mengajarkan bahwa tak semua apa yang ayah perlihatkan pada kami adalah perbuatan yang tepat, bahkan menurut ayah sendiri. Ayah memotongnya dengan cara mengatakan bahwa apa yang dilakukakannya salah dan tak perlu diteruskan oleh anak-anaknya, ayah juga memberi gambaran contoh dari kakek dan meminta kami untuk belajar dari paman kami yang lebih berani menabrak aturan-aturan itu.
Menjadi ayah tak mungkin sempurna karena kita punya masa lalu pola asuh yang kadang juga tak sempurna, cukpu tutup ketidaksempurnaan itu dengan mengakui kesalahan kita dan tak berbangga ketika melakukakannya di depan anak-anak kita. Itu yang ayah ajarkan pada kami.

Palangka Raya, 13 Juni 2015

Rizqi Tajuddin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar