Jumat, 12 Juni 2015

1. Ayah & Shalat Jumat

Dua kali ayah masuk ICU RS Dr Soetomo karena serangan jantung. Pertama sekitar tahun 1995-1996 ketika saya masih duduk di bangku SMA, dan yang kedua adalah ketika saya telah lulus SMA dan akan ikut UMPTN tahun 97.
Ibu bercerita, ketika ayah masuk ICU yang kedua kali, ada seorang ibu-ibu yang bicara dengan ibu kami. Ibu itu menangis karena melihat ayah saya tetap shalat meski dalam keadaan seperti itu, sedangkan suami ibu itu, sudah 5 kali masuk ICU dan tidak juga mau shalat.
Ayah saya bukanlah ayah yang sempurna, tapi beliau adalah ayah yang apa adanya. Banyak hal yang kami pelajari dari beliau. Shalat terutama. Memang, ayah bukanlah orang yang rajin shalat berjamaah di masjid, tapi beliau selalu mengatakan bahwa itu salah. Dan meminta kami, anak laki-lakinya untuk pergi shalat berjamaah ke masjid. 
Hari ini saya tiba-tiba teringat apa yang ayah ajarkan pada saya sebagai anak laki-laki. Setiap Jumat ketika masih anak-anak, ayah selalu mengajak saya berangkat shalat Jumat bersama. Pukul 10.30 saya dan abang saya, harus sudah siap untuk mandi Jumat, dan pukul 11:30 kami berangkat menuju Masjid Manarul Islam yang berada di pingir anak sungai Brantas di Bangil.
Kadang saya dan ayah naik becak, kadang juga naik Vespa tua kesayangannya dan juga kadang naik mobil ketika keluarga besar ayah sudah memiliki mobil. Tapi dari semua kendaraan, Vespa dan becaklah yang menjadi kenangan terbaik saya. Ketika masih duduk di bangku SD,hampir setiap Jumat ayah pergi shalat Jumat menggunakan Vespa. Dan saya berdiri di depan sambil memegang stang Vespa. bangga karena seakan-akan sayalah yang menggonceng ayah saya. Sedangkan becak, saya merasa dengan jalan yang lambat saya akan lebih lama melihat tangan ayah yang berambut dan memakai jam tangan. Sering saya memimpikan kapan memilki tangan seperti tangan ayah.
Banyak hal yang saya pelajari dari ayah tentang shalat Jumat ini. Tentang mandi Jumat, yaitu mandi yang wajib dilakukan oleh seorang laki-laki yang punya niat shalat Jumat. Bagi ayah saya, shalat Jumat tanpa mandi di hari Jumat itu gak sah shalatnya,karena itu bagian dari rukun shalat Jumat. Ha ha ha, jadi teringat abang saya (Qaris Tajuddin) ketika kuliah di Mesir, mandi cuma sekali ketika musim dingin. "Kan yang wajib Jumat, hari lain kan gak wajib." kata abang saya berkilah ketika saya bertanya.
Tentang shalat Jumat ini, saya juga mendapatkan pelajaran bahwa ketika khatib naik mimbar, kita dilarang untuk bicara. Ayah selalu meminta saya dan abang untuk duduk di sampingnya selama ibadah Jumat berlangsung. Ini ketika kami masih anak-anak, ketika kami agak besar, ayah membolehkan kami mengambil tempat yang berbeda, tapi ritual berangkat bersama tetap saya lakukan hingga SMA. Jadi, ketika teman-teman saya berlarian di masjid atau bicara di masjid, saya hanya diam saja karena berada di samping ayah. Tapi yang lebih sering adalah tidur di samping ayah.
Ayah juga mengajarka bahwa tidak ada ruksoh bagi musafir dalam shalat Jumat. Meski ayah bercerita bahwa, pendapatnya berbeda dengan Paman saya Hud Abdullah Musa. Jadi, kemanapun kami pergi, shalat Jumat tidak pernah kami lewatkan.
Perbedaan dengan paman tentang Jumat ini juga tentang shalat ashar ketika bepergian di hari JUmat. Bagi ayah, selesai shalat Jumat, kami tidak boleh menjamak shalat ashar meski sedang dalam bepergian. Jadi, kami biasanya akan shalat ashar di waktu ashar meski dengan diqoshor (2 rakaat). Meski beda, ayah sangat menghormati paman saya ini. Hormat karena ayah anggap paman lebih punya wawasan Islam yang lebih. Ayah kuliah di Ekonomi Brawijaya sedangkan paman adalah lulusan dari Irak dan Pakistan.
Hampir setiap shalat ayah selalu mengajak saya, kondisi apapun. Pernah ketika saya berusia sekitar 5 tahun, ibu tak mengizinkan saya shalat Jumat karena demam, sedangkan ayah tetap meminta saya berangkat. Tapi ayah luluh juga dengan rengekan seorang ibu. Dan akhirnya memang saya tidak berangkat shalat. Pulang dari shalat, ayah melihat saya sudah tertawa dan bisa duduk di badukan tempat ibu biasa menyetrika. Saya tersenyum ketika ayah berkata sambil menggoyang-goyangkan telunjukknya, "Nah, katanya sakit, kok bisa main.?" Ini sangat berkesan bagi saya. HIngga hari ini saya masih ingat bagaimana cara ayah bicara dan bagaimana saya duduk di badukan itu.
Ada satu lagi yang saya dapatkan dari ayah tentang shalat Jumat. Bahwa kita boleh mengganti shalat Jumat dengan shalat Dhuhur ketika shalat Ied jatuh pada hari Jumat. Kenangan itu pertama ketika iedul qurban saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Ayah tak berangkat ke masjid untuk shalat Jumat dan mengatakan tentang hal itu.
Jumat adalah hari yang sering saya nantikan ketika SMP dan SMA, karena hari itulah satu-satunya hari di mana kami bisa makan siang bersama. Ayah tak pernah meninggalkan makan siang bersama di rumah, apalagi di hari Jumat. Ayah hanyalah orang biasa, tapi tak pernah melewatkan mengundang 1-2 orang kenalan yang dirasa oleh ayah tak bisa makan enak di hari Jumat. Ada beberapa orang yang rutin diundang oleh ayah di hari Jumat. Beberapa adalah guru di Pesantren Persis Bangil.
Jumat adalah hari yang berkesan bagi kami sekeluarga, juga bagi saya sebagai salah satu anak laki-laki ayah.  Jumat adalah hari di mana ayah mengajarkan tentang nilai-nilai dan ibadah. Jumat juga ayah meninggalkan kami sekeluarga, dan Jumat tanggal 30 Mei 1997 adalah Jumat di mana ayah bukan berangkat shalat Jumat, tapi dishalatkan oleh keluarga dan teman-temannya.
Harusnya setiap ayah mengajarkan ini kepada setiap anaknya.Sedih melihat ayah yang tak dekat dengan anaknya. Sedih melihat ayah yang tak pernah mengajarkan agama pada anak-anaknya.
Ayah kami bukanlah ayah yang sempurna, tapi ayak kami adalah ayah terbaik yang Allah berikan pada kami. 

Rizqi Tajuddin
Palangka Raya, 12 Juni 2015




Tidak ada komentar:

Posting Komentar