Setiap ada tamu yang datang ke rumah mencari ayah di antara pukul 14.00 - 16.30 selalu membuatku bingung. Bingung karena ayah tidak mau ditemuin tamu pada jam-jam itu. Ayah istirahat ketika sudah pukul 14.00 dan akan bangun pukul 16.00. Tapi tidak langsung siap menerima tamu. Ayah akan santai dulu di singgasananya dengan menikmati segelas teh atau kopi hangat dan jajanan sore buatan ibu. Rutinitas itu ayah jalankan bertahun-tahun lamanya. Dan, tak mau rutinitas ini terganggu oleh tamu-tamunya. Bagi yang sudah akrab mengenal ayah, mereka tahu tidak akan datang ke rumah pada waktu-waktu itu. Mereka akan datang sebelumnya atau sesudahnya.
Sering ini membuat saya keki berhadapan dengan tamu baru. "Bisa bangunkan ayahnya ?" begitu permintaan dari tamu. Dan saya mencoba membangunkan, namun ayah akan menegur saya bahwa ayah baru bisa menemui tamu pukul 16.30. Lalu saya akan menemui tamu itu dan mengatakan apa yang disampaikan ayah. Kadang beberapa tamu mengerti, kadang masih ngeyel dengan berkata , "Kami dari jauh, dari Jakarta. Mau nanya urusan Al-Muslimun." Kadang saya balik lagi danmembangunkan ayah. Lagi-lagi ayah tidak mau dan berkata "Urusan Al-muslimun pas jam kantor, bukan di luar jam kantor." Ya ya ya, saya sampaikan ke tamu tersebut. Kalau mereka sabar, mereka akan menunggu atau kembali keesokan hari di pagi hari.
Kadang ibu saya berkata, "Haduh malu ibu dengan tamunya, ayah gak mau bangun."
Pernah suatu hari ada tamu datang dari Surabaya berpakain necis datang pukul 14.30. Seperti biasa saya akan mengatakan bahwa ayah tidak bisa diganggu hingga pukul 16.30. Untungnya tamu itu sabar dan mau menunggu. Dan ketika ayah bangun dan telah selesai dengan rutinatas 30 menitnya, ayah akan temui tamu itu. Dan ternyata tamu itu hanya mengantar cetakan kartu nama ayah. "Kiki, kok gak ditanya keperluan tamu itu apa, kan Kiki bisa terima aja kartu nama itu tanpa harus menunggu ayah bangun." begitu kata ayah setelah tamu itu pulang. Saya memang tak bertanya. Kejadian itu ketika saya awal-awal di SMA.
Saya mungkin paling merasakan masalah ini dibandingkan dengan saudara-saudara saya yang lain. Saya merasakan ini sejak kelas 4 SD hingga SMA. Sedangkan kakak-kakak saya, 2 orang SMA di luar kota, 2 orang di pesantren Bangil. Dan pastinya, kalau ada tamu, saya sebagai anak laki-laki yang akan berhadapan bukan kakak-kakak peremupuan atau abang saya (karena abang saya sejak lulus SD di Pesantren)
Dulu saya menganggap ini adalah benar dan boleh dilakukan ketika saya dewasa. Dan di kepala saya terekam bahwa ini biasa dilakukan oleh laki-laki dewasa. Sama seperti dengan merokok dan tidak mengerjakan pekerjaan rumah seperti memasak, membersihan rumah, membereskan tempat tidur dan membereskan cucian. Karena begitulah ayah sehari-hari.
Tapi sungguh ada kata-kata ayah yang membuat saya kemudian percaya bahwa hal itu salah.
"Kiki, jangan tiru ayah. Harusnya ayah menerima tamu jam berapapun tamu itu datang. " ayah memberikan petuah padaku dan kemudian bercerita bahwa kakek kami berbeda dengan ayah. Kakek kami mau belanja ke pasar, tidak merokok, mau menerima tamu juga mau membantu pekerjaan rumah seperti menyapu dan membersihkan rumah. "Harusnya ayah mau melakukan itu semua, contoh juga Mamu Hud (red :adik lak-laki ayah)" sambung ayah.
Hingga saya lulus kuliah saya tak tahu mengapa ayah enggan menerima tamu dan membantu tugas rumahan, tapi menyuruh anaknya untuk tidak melakukan itu. Mengapa ayah juga berbeda dengan kakek saya dan paman saya.
Setelah saya mengerti pengasuhan, saya baru tahu bahwa ini karena pola asuh ayah ketika kecil. Ayah ketika kecil tidak diasuh oleh kakek tapi oleh adik kakek di Surabaya, yang masih memegang kuat tradisi keturunan India pada umumnya. laki-laki tabu mengerjakan itu semua. Jam tidur siang bagi laki-laki mungkin juga terjdual dengan rapi, tak boleh diganggu oleh siapapun. Ayah mempelajari itu semua, dari kecil hingga lulus SMA. Berbeda dengan pola asuh kakek di Bangil, yang sudah mulai terbuka dengan menabrak beberapa tradisi tak penting itu.
Saya teringat pesan Pak Irwan Renaldi. Bahwa kita perlu memotong rantai pengasuhan yang salah. Dan melalui ayah, saya belajar bahwa salah satu cara memotong rantai pengasuhan adalah dengan mengakui kesalahan dan bersikap apa adanya. Ayah mengajarkan bahwa tak semua apa yang ayah perlihatkan pada kami adalah perbuatan yang tepat, bahkan menurut ayah sendiri. Ayah memotongnya dengan cara mengatakan bahwa apa yang dilakukakannya salah dan tak perlu diteruskan oleh anak-anaknya, ayah juga memberi gambaran contoh dari kakek dan meminta kami untuk belajar dari paman kami yang lebih berani menabrak aturan-aturan itu.
Menjadi ayah tak mungkin sempurna karena kita punya masa lalu pola asuh yang kadang juga tak sempurna, cukpu tutup ketidaksempurnaan itu dengan mengakui kesalahan kita dan tak berbangga ketika melakukakannya di depan anak-anak kita. Itu yang ayah ajarkan pada kami.
Palangka Raya, 13 Juni 2015
Rizqi Tajuddin
Rumah Di Belakang Pohon Belimbing
Masa kecil harusnya dilalui dengan kebahagiaan, eksplorasi, tantangan, kegagalan, dan juga kasih sayang dari ayah & bunda. Lima saudara yang lahir dan besar di sebuah kota kecil di Bangil - Jawa Timur ingin berbagi kisah itu di blog ini. Sekarang lima saudara ini telah tinggal di kota-kota yang berbeda. Jakarta, Surabaya, Bangil dan Palangka Raya Qanita, Qarina, Qaris, Shufaira & Rizqi (Tajuddin Fam)
Sabtu, 13 Juni 2015
Jumat, 12 Juni 2015
1. Ayah & Shalat Jumat
Dua kali ayah masuk ICU RS Dr Soetomo karena serangan jantung. Pertama sekitar tahun 1995-1996 ketika saya masih duduk di bangku SMA, dan yang kedua adalah ketika saya telah lulus SMA dan akan ikut UMPTN tahun 97.
Ibu bercerita, ketika ayah masuk ICU yang kedua kali, ada seorang ibu-ibu yang bicara dengan ibu kami. Ibu itu menangis karena melihat ayah saya tetap shalat meski dalam keadaan seperti itu, sedangkan suami ibu itu, sudah 5 kali masuk ICU dan tidak juga mau shalat.
Ayah saya bukanlah ayah yang sempurna, tapi beliau adalah ayah yang apa adanya. Banyak hal yang kami pelajari dari beliau. Shalat terutama. Memang, ayah bukanlah orang yang rajin shalat berjamaah di masjid, tapi beliau selalu mengatakan bahwa itu salah. Dan meminta kami, anak laki-lakinya untuk pergi shalat berjamaah ke masjid.
Hari ini saya tiba-tiba teringat apa yang ayah ajarkan pada saya sebagai anak laki-laki. Setiap Jumat ketika masih anak-anak, ayah selalu mengajak saya berangkat shalat Jumat bersama. Pukul 10.30 saya dan abang saya, harus sudah siap untuk mandi Jumat, dan pukul 11:30 kami berangkat menuju Masjid Manarul Islam yang berada di pingir anak sungai Brantas di Bangil.
Kadang saya dan ayah naik becak, kadang juga naik Vespa tua kesayangannya dan juga kadang naik mobil ketika keluarga besar ayah sudah memiliki mobil. Tapi dari semua kendaraan, Vespa dan becaklah yang menjadi kenangan terbaik saya. Ketika masih duduk di bangku SD,hampir setiap Jumat ayah pergi shalat Jumat menggunakan Vespa. Dan saya berdiri di depan sambil memegang stang Vespa. bangga karena seakan-akan sayalah yang menggonceng ayah saya. Sedangkan becak, saya merasa dengan jalan yang lambat saya akan lebih lama melihat tangan ayah yang berambut dan memakai jam tangan. Sering saya memimpikan kapan memilki tangan seperti tangan ayah.
Banyak hal yang saya pelajari dari ayah tentang shalat Jumat ini. Tentang mandi Jumat, yaitu mandi yang wajib dilakukan oleh seorang laki-laki yang punya niat shalat Jumat. Bagi ayah saya, shalat Jumat tanpa mandi di hari Jumat itu gak sah shalatnya,karena itu bagian dari rukun shalat Jumat. Ha ha ha, jadi teringat abang saya (Qaris Tajuddin) ketika kuliah di Mesir, mandi cuma sekali ketika musim dingin. "Kan yang wajib Jumat, hari lain kan gak wajib." kata abang saya berkilah ketika saya bertanya.
Tentang shalat Jumat ini, saya juga mendapatkan pelajaran bahwa ketika khatib naik mimbar, kita dilarang untuk bicara. Ayah selalu meminta saya dan abang untuk duduk di sampingnya selama ibadah Jumat berlangsung. Ini ketika kami masih anak-anak, ketika kami agak besar, ayah membolehkan kami mengambil tempat yang berbeda, tapi ritual berangkat bersama tetap saya lakukan hingga SMA. Jadi, ketika teman-teman saya berlarian di masjid atau bicara di masjid, saya hanya diam saja karena berada di samping ayah. Tapi yang lebih sering adalah tidur di samping ayah.
Ayah juga mengajarka bahwa tidak ada ruksoh bagi musafir dalam shalat Jumat. Meski ayah bercerita bahwa, pendapatnya berbeda dengan Paman saya Hud Abdullah Musa. Jadi, kemanapun kami pergi, shalat Jumat tidak pernah kami lewatkan.
Perbedaan dengan paman tentang Jumat ini juga tentang shalat ashar ketika bepergian di hari JUmat. Bagi ayah, selesai shalat Jumat, kami tidak boleh menjamak shalat ashar meski sedang dalam bepergian. Jadi, kami biasanya akan shalat ashar di waktu ashar meski dengan diqoshor (2 rakaat). Meski beda, ayah sangat menghormati paman saya ini. Hormat karena ayah anggap paman lebih punya wawasan Islam yang lebih. Ayah kuliah di Ekonomi Brawijaya sedangkan paman adalah lulusan dari Irak dan Pakistan.
Hampir setiap shalat ayah selalu mengajak saya, kondisi apapun. Pernah ketika saya berusia sekitar 5 tahun, ibu tak mengizinkan saya shalat Jumat karena demam, sedangkan ayah tetap meminta saya berangkat. Tapi ayah luluh juga dengan rengekan seorang ibu. Dan akhirnya memang saya tidak berangkat shalat. Pulang dari shalat, ayah melihat saya sudah tertawa dan bisa duduk di badukan tempat ibu biasa menyetrika. Saya tersenyum ketika ayah berkata sambil menggoyang-goyangkan telunjukknya, "Nah, katanya sakit, kok bisa main.?" Ini sangat berkesan bagi saya. HIngga hari ini saya masih ingat bagaimana cara ayah bicara dan bagaimana saya duduk di badukan itu.
Ada satu lagi yang saya dapatkan dari ayah tentang shalat Jumat. Bahwa kita boleh mengganti shalat Jumat dengan shalat Dhuhur ketika shalat Ied jatuh pada hari Jumat. Kenangan itu pertama ketika iedul qurban saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Ayah tak berangkat ke masjid untuk shalat Jumat dan mengatakan tentang hal itu.
Jumat adalah hari yang sering saya nantikan ketika SMP dan SMA, karena hari itulah satu-satunya hari di mana kami bisa makan siang bersama. Ayah tak pernah meninggalkan makan siang bersama di rumah, apalagi di hari Jumat. Ayah hanyalah orang biasa, tapi tak pernah melewatkan mengundang 1-2 orang kenalan yang dirasa oleh ayah tak bisa makan enak di hari Jumat. Ada beberapa orang yang rutin diundang oleh ayah di hari Jumat. Beberapa adalah guru di Pesantren Persis Bangil.
Jumat adalah hari yang berkesan bagi kami sekeluarga, juga bagi saya sebagai salah satu anak laki-laki ayah. Jumat adalah hari di mana ayah mengajarkan tentang nilai-nilai dan ibadah. Jumat juga ayah meninggalkan kami sekeluarga, dan Jumat tanggal 30 Mei 1997 adalah Jumat di mana ayah bukan berangkat shalat Jumat, tapi dishalatkan oleh keluarga dan teman-temannya.
Harusnya setiap ayah mengajarkan ini kepada setiap anaknya.Sedih melihat ayah yang tak dekat dengan anaknya. Sedih melihat ayah yang tak pernah mengajarkan agama pada anak-anaknya.
Ayah kami bukanlah ayah yang sempurna, tapi ayak kami adalah ayah terbaik yang Allah berikan pada kami.
Rizqi Tajuddin
Palangka Raya, 12 Juni 2015
Ibu bercerita, ketika ayah masuk ICU yang kedua kali, ada seorang ibu-ibu yang bicara dengan ibu kami. Ibu itu menangis karena melihat ayah saya tetap shalat meski dalam keadaan seperti itu, sedangkan suami ibu itu, sudah 5 kali masuk ICU dan tidak juga mau shalat.
Ayah saya bukanlah ayah yang sempurna, tapi beliau adalah ayah yang apa adanya. Banyak hal yang kami pelajari dari beliau. Shalat terutama. Memang, ayah bukanlah orang yang rajin shalat berjamaah di masjid, tapi beliau selalu mengatakan bahwa itu salah. Dan meminta kami, anak laki-lakinya untuk pergi shalat berjamaah ke masjid.
Hari ini saya tiba-tiba teringat apa yang ayah ajarkan pada saya sebagai anak laki-laki. Setiap Jumat ketika masih anak-anak, ayah selalu mengajak saya berangkat shalat Jumat bersama. Pukul 10.30 saya dan abang saya, harus sudah siap untuk mandi Jumat, dan pukul 11:30 kami berangkat menuju Masjid Manarul Islam yang berada di pingir anak sungai Brantas di Bangil.
Kadang saya dan ayah naik becak, kadang juga naik Vespa tua kesayangannya dan juga kadang naik mobil ketika keluarga besar ayah sudah memiliki mobil. Tapi dari semua kendaraan, Vespa dan becaklah yang menjadi kenangan terbaik saya. Ketika masih duduk di bangku SD,hampir setiap Jumat ayah pergi shalat Jumat menggunakan Vespa. Dan saya berdiri di depan sambil memegang stang Vespa. bangga karena seakan-akan sayalah yang menggonceng ayah saya. Sedangkan becak, saya merasa dengan jalan yang lambat saya akan lebih lama melihat tangan ayah yang berambut dan memakai jam tangan. Sering saya memimpikan kapan memilki tangan seperti tangan ayah.
Banyak hal yang saya pelajari dari ayah tentang shalat Jumat ini. Tentang mandi Jumat, yaitu mandi yang wajib dilakukan oleh seorang laki-laki yang punya niat shalat Jumat. Bagi ayah saya, shalat Jumat tanpa mandi di hari Jumat itu gak sah shalatnya,karena itu bagian dari rukun shalat Jumat. Ha ha ha, jadi teringat abang saya (Qaris Tajuddin) ketika kuliah di Mesir, mandi cuma sekali ketika musim dingin. "Kan yang wajib Jumat, hari lain kan gak wajib." kata abang saya berkilah ketika saya bertanya.
Tentang shalat Jumat ini, saya juga mendapatkan pelajaran bahwa ketika khatib naik mimbar, kita dilarang untuk bicara. Ayah selalu meminta saya dan abang untuk duduk di sampingnya selama ibadah Jumat berlangsung. Ini ketika kami masih anak-anak, ketika kami agak besar, ayah membolehkan kami mengambil tempat yang berbeda, tapi ritual berangkat bersama tetap saya lakukan hingga SMA. Jadi, ketika teman-teman saya berlarian di masjid atau bicara di masjid, saya hanya diam saja karena berada di samping ayah. Tapi yang lebih sering adalah tidur di samping ayah.
Ayah juga mengajarka bahwa tidak ada ruksoh bagi musafir dalam shalat Jumat. Meski ayah bercerita bahwa, pendapatnya berbeda dengan Paman saya Hud Abdullah Musa. Jadi, kemanapun kami pergi, shalat Jumat tidak pernah kami lewatkan.
Perbedaan dengan paman tentang Jumat ini juga tentang shalat ashar ketika bepergian di hari JUmat. Bagi ayah, selesai shalat Jumat, kami tidak boleh menjamak shalat ashar meski sedang dalam bepergian. Jadi, kami biasanya akan shalat ashar di waktu ashar meski dengan diqoshor (2 rakaat). Meski beda, ayah sangat menghormati paman saya ini. Hormat karena ayah anggap paman lebih punya wawasan Islam yang lebih. Ayah kuliah di Ekonomi Brawijaya sedangkan paman adalah lulusan dari Irak dan Pakistan.
Hampir setiap shalat ayah selalu mengajak saya, kondisi apapun. Pernah ketika saya berusia sekitar 5 tahun, ibu tak mengizinkan saya shalat Jumat karena demam, sedangkan ayah tetap meminta saya berangkat. Tapi ayah luluh juga dengan rengekan seorang ibu. Dan akhirnya memang saya tidak berangkat shalat. Pulang dari shalat, ayah melihat saya sudah tertawa dan bisa duduk di badukan tempat ibu biasa menyetrika. Saya tersenyum ketika ayah berkata sambil menggoyang-goyangkan telunjukknya, "Nah, katanya sakit, kok bisa main.?" Ini sangat berkesan bagi saya. HIngga hari ini saya masih ingat bagaimana cara ayah bicara dan bagaimana saya duduk di badukan itu.
Ada satu lagi yang saya dapatkan dari ayah tentang shalat Jumat. Bahwa kita boleh mengganti shalat Jumat dengan shalat Dhuhur ketika shalat Ied jatuh pada hari Jumat. Kenangan itu pertama ketika iedul qurban saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Ayah tak berangkat ke masjid untuk shalat Jumat dan mengatakan tentang hal itu.
Jumat adalah hari yang sering saya nantikan ketika SMP dan SMA, karena hari itulah satu-satunya hari di mana kami bisa makan siang bersama. Ayah tak pernah meninggalkan makan siang bersama di rumah, apalagi di hari Jumat. Ayah hanyalah orang biasa, tapi tak pernah melewatkan mengundang 1-2 orang kenalan yang dirasa oleh ayah tak bisa makan enak di hari Jumat. Ada beberapa orang yang rutin diundang oleh ayah di hari Jumat. Beberapa adalah guru di Pesantren Persis Bangil.
Jumat adalah hari yang berkesan bagi kami sekeluarga, juga bagi saya sebagai salah satu anak laki-laki ayah. Jumat adalah hari di mana ayah mengajarkan tentang nilai-nilai dan ibadah. Jumat juga ayah meninggalkan kami sekeluarga, dan Jumat tanggal 30 Mei 1997 adalah Jumat di mana ayah bukan berangkat shalat Jumat, tapi dishalatkan oleh keluarga dan teman-temannya.
Harusnya setiap ayah mengajarkan ini kepada setiap anaknya.Sedih melihat ayah yang tak dekat dengan anaknya. Sedih melihat ayah yang tak pernah mengajarkan agama pada anak-anaknya.
Ayah kami bukanlah ayah yang sempurna, tapi ayak kami adalah ayah terbaik yang Allah berikan pada kami.
Rizqi Tajuddin
Palangka Raya, 12 Juni 2015
Langganan:
Postingan (Atom)